Rabu, 22 Januari 2020

Perahu Tak Bertuan

Part 1
Tempat Tugas Baru

POV Wira
Hari pertama
Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di tempat tugasku yang baru. Suasana sejuk ciri khas pedesaan sungguh terasa ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku disini. Rindangnya pohon di sisi perbukitan menambah rasa nyaman berada disini. Terlihat baru ada beberapa orang siswa yang sudah datang. 
"Aku harus datang pagi-pagi sekali hari ini, aku harus memberi teladan kepada bawahanku", gumamku dalam hati.
Tak lama kemudian muncul seorang laki-laki tua menghampiriku. Kutaksir umurnya sekitar 50 tahunan.
"Assalamu'alaikum", sapanya kepadaku.
"Wa'alaikum salam", balasku.
"Mohon maaf, bapak ini siapa ya? Dan ada keperluan apa disini?" Tanyanya kepadaku.
"Mohon maaf pak, nama saya Wira, saya kepala sekolah baru disini, menggantikan Bu Sri yang sudah memasuki pensiun", jawabku.
"Ini Pak Wira toh", balasnya sembari menjabat tanganku.
"Ya Pak", jawabku.
"Bu Sri pernah bilang ke saya, bahwa ada kepala sekolah baru yang akan menggantikan tugasnya, ternyata orangnya bapak ya, masih muda, guantengggg lagi", sambungnya sambil tersenyum.
Akupun tersenyum kepada bapak itu.
"Saya Pujo, saya penjaga sekolah disini Pak", jelasnya kepadaku.
"Pak Pujo, bisa tolong antar saya ke kantor", lanjutku.
"Baik Pak, ayooo", ajaknya sembari mengayunkan kaki meninggalkan tempat kami berdiri.
Akupun mengikuti Pak Pujo dari belakang. Setelah berjalan beberapa meter kamipun tiba di sebuah ruangan sederhana.
"Ayo masuk Pak, ini kantornya, guru-guru belum pada datang Pak, mungkin sebentar lagi mereka datang", jelas Pak Puja.
"Pak Pujo tinggal dimana?" Tanyaku.
"Saya tinggal di perumahan belakang kantor ini Pak. Bapak, endak usah manggil saya dengan sebutan Pak, saya endak enak jadinya Pak", jelasnya.
"Terus saya panggil bapak dengan sebutan apa?" Tanya saya.
"Kalau guru-guru di sini, biasa manggil saya dengan panggilan Mang Ujo, Pak". Terangnya.
"Ya udah, saya manggil Mang Ujo juga ya. Mang Ujo sudah lama jadi penjaga disini?", Tanyaku lagi.
" Saya jadi disini sejak anak kedua saya berumur 6 bulan Pak, sekarang umurnya sudah masuk 16 tahun," Jawabnya.
"Sudah lumayan lama ya Mang, Mang Ujo orang asli desa ini?" Tanyaku lagi.
"Kalau saya sebenarnya orang rantauan Pak, saya dari Jawa, dapat jodoh orang asli sini, maka terdamparlah saya di desa ini Pak", jawabnya sambil tertawa.
"Tunggu sebentar ya Pak, bapak mau teh atau kopi?" Tanya Mang Ujo.
"Kopi saja Mang, kebetulan saya belum ngopi pagi ini", jawabku.
Mang Ujo pun pergi meninggalkanku. Sepeninggal Mang Ujo, mataku mulai mengamati ruang sekelilingku, nampak papan nama guru-guru yang bertugas disini, kuperhatikan satu persatu.
"Sepertinya tidak ada yang ku kenal satupun", gumamku dalam hati.
Kupandangi lagi sekelilingku, walau sederhana, tapi ruangan tersebut nampak tertata dengan rapi.
"Ternyata Bu Sri orangnya rapi ya", pikirku.
Tak lama kemudian, Mang Ujo datang membawa secangkir kopi. Di belakang Mang Ujo, nampak seorang wanita, yang mengikuti Mang Ujo berjalan ke arahku.
"Ayo Pak, silahkan diminum kopinya", tawar Mang Ujo sambil tersenyum kepadaku.
"Pak", sapa wanita yang mengikuti Mang Ujo sambil menyalami tanganku.
"Saya, Lestari Pak, saya guru disini, maaf saya datang terlambat Pak, anak saya sedang sakit", terangnya.
Aku tersenyum dalam hati.
"Sebenarnya Bu Lestari ini belum terlambat, karena waktu masuk sekolah masih setengah jam lagi, mungkin Mang Ujo sudah menyampaikan kepadanya bahwa aku telah datang", gumamku dalam hati.
Untuk menjaga wibawaku, ku hanya tersenyum kepadanya.
"Bu Lestari, mengajar mata pelajaran apa?" Tanyaku.
"Saya mengajar Bahasa Indonesia Pak", jawabnya.
"Pak, saya permisi dulu, saya mau kembali ke ladang", kata Mang Ujo.
"Oh ya Pak, silahkan." Jawabku.
Tak lama kemudian, guru-guru mulai berdatangan, merekapun menyalamiku satu persatu.
Ada rasa bangga dalam hatiku, "Sekarang aku dihormati." Gumamku dalam hati.
Hari ini berlalu begitu cepat, waktu sekolahpun telah berakhir. Aku harus segera  kembali ke rumah.
"Istriku sudah pasti sudah menungguku di rumah", pikirku.
Tak lama kemudian hp ku berdering, kulihat tulisan "Mama" di layar hp.
"Assalamu'alaikum Pa", terdengar suara manja istriku di seberang sana.
"Wa'alaikum salam Ma", jawabku.
"Papa lagi di mana?" Tanyanya kepadaku.
"Masih di sekolah ma, sudah mau pulang", jawabku.
"Ya sudah, hati-hati di jalan Papa sayang, emmmuach", balasnya manja.
"Ya ma, sudah dulu ya Ma, Papa sudah mau jalan", jawabku.
"Oke Papa", jawabnya.
Akupun mengakhiri percakapan kami, sembari menarik pedal gas motorku.
-----
Sang surya telah sembunyi di peraduannya, begitupun diriku. Aku bermalas-malasan di tempat tidur. Tak lama, istriku datang, kemudian berbaring di sampingku.
"Gimana di sekolah tadi Pa?" Tanya istriku.
"Baik ma, gurunya ramah, tempatnya sejuk, kayaknya Papa bakal betah deh lama-lama di sekolah", timpalku sambil mencubit pinggang istriku.
"Yeee, papa, tega ya ninggalin mama sendirian di rumah", balas istriku.
"Atau jangan-jangan gurunya cantik-cantik ya Pa." Lanjutnya lagi sambil memasang muka cemburu.
"Mama itu, kalau lagi cemburu, tambah cantik deh", jawabku sambil mencubit pipinya.
"Tu kan، gak dijawab, jangan-jangan benar, guru-gurunya cantik, sehingga papa betah lama-lama di sekolah", rajuk isrtiku, yang langsung tidur membelakangiku.
"Gak kok sayang,,,,, mama wanita yang paling cantik di dunia", jawabku sambil memeluknya dari belakang.
"Papa tadi bercanda kok sayang, mana mungkin papa tega ninggalin mama yang imut ini lama-lama", lanjutku sembari mencubit pipinya lagi.
"Ehhhh kan, sakit tahu Pa, katanya sayang, tapi dicubit-cubit terus dari tadi", jawab istriku.
"Ihhhhhhhh, mama,,, Papa sayang mama dehhhh", balasku sambil menggelitiki perut istriku.
Kamipun larut dalam tawa malam ini.

Hari kedua
Seperti hari kemarin, hari ini aku datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Aku tidak ingin keduluan bawahanku. Aku ingin memberi teladan kepada bawahanku. Kulihat Mang Ujo sedang menyapu daun-daun yang berguguran di halaman sekolah.
"Pagi Mang", sapaku pada Mang Ujo.
"Eh bapak, pagi ini bapak mau dibuatkan kopi atau teh?" Tanyanya kepadaku.
"Kopi saja mang", jawabku sambil berlalu meninggalkan Mang Ujo.

"Pagi Pak Edy", sapaku pada Pak Edy guru Bahasa Inggris di sekolah ini yang sedang asyik memainkan jemari di layar hpnya.
"Eh, bapak, pagi juga Pak", jawabnya seraya bangkit menyalamiku.
"Pak Edi lagi baca apa, kok senyum-senyum sendiri?" Tanyaku sambil tersenyum.
"Cuma baca cerita lucu Pak", jawabnya.
Akupun berlalu meninggalkannya, menuju ke ruanganku.
-----
Hari menunjukkan pukul 08.30, tiba pintu ruanganku di ketuk.
"Assalamu'alaikum", terdengar suara wanita dari balik pintu.
Wa'alaikum salam, silahkan masuk", jawabku.
Kemudian muncuk seorang wanita berjilbab dari balik pintu, usianya sekitar 27 tahunan.
"Silahkan duduk", kataku kepadanya.
"Terima kasih Pak, saya Nadia Pak, saya guru Matematika, kebetulan kemarin saya mengantar ibu, berobat ke kota Pak." Jawabnya.
"Ohhh, ini Bu Nadia, ya kemarin Pak Edy bilang kalau Bu Nadia tidak masuk, karena ibunya sakit, gimana ibunya sekarang?" Tanyaku padanya.
"Alhamdulillah sudah mendingan Pak", jawabnya.
"Syukurlah kalau begitu, semoga lekas sembuh ya", balasku.
"Terima kasih Pak, saya mau permisi kembali ke kelas Pak, kasihan anak-anak kalau terlalu lama ditinggal", katanya sambil tersenyum.
"Baiklah Bu Nadia", jawabku.
Diapun melangkah pergi meninggalkan ruanganku, akupun kembali melanjutkan aktifitasku.
------
Pukul 10.50
"Pak, Pak, Pak", terdengar suara jeritan.
Akupun keluar ruangan.
"Pak, Mixel, mengamuk", teriak seorang siswa.
"Dimana dia sekarang?" Tanya Bu Nadia.
"Dia di kelas Bu". Jawabnya.
Pak Edy dan Bu Nadia ke kelas, aku yang masih bingung mengikuti mereka berdua.
"Mixel kenapa, sayang?" Bujuk Bu Nadia.
"Mixel ada masalah ya? Kalau mixel ada masalah, ayo bicara sama ibu." Lanjutnya
Terlihat beberapa kursi dan meja bergelimpangan, bahkan ada kursi yang patah. Sementara itu, di sudut ruangan,  terlihat seorang remaja laki-laki tambun, menangis sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Ini bukan kenakalan remaja lagi, ini sudah pengrusakan", pikirku.
Aku hanya diam mengamati yang dilakukan Pak Edy dan Bu Nadia, karena tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama kemudian, nampak seorang wanita buru-buru masuk ke kelas.
"Mixel, kenapa kamu nak?" Tanya wanita yang terlihat sangat cemas tersebut.
Anak yang bernama mixel tersebut, kemudian memeluk wanita yang ternyata ibunya dan menangis semakin keras.
Terlihat ibu tersebut berusaha menenangkan Mixel. Mixel semakin tenang. Tak lama kemudian bel tanda masuk dari istirahatpun berbunyi.
"Pak Edy, ajak ibunya Mixel ke kantor!" Pintaku pada Pak Edy.
Akupun pergi meninggalkan mereka.
-----
"Ibu ini, ibunya Mixel?" Tanyaku pada wanita tersebut.
"Ya Pak, saya Wati, saya ibunya Mixel, maaf ya Pak, Mixel sudah berbuat salah", jawabnya terbata.
"Ibu tahu, kesalahan Mixel cukup berat, dia sudah merusak beberapa sarana sekolah", lanjutku.
"Ma ma maaf Pak", jawabnya terbata kemudian menangis.
Aku bingung karena baru sekali ini, menghadapi orang tua siswa yang menangis di depanku. Akupun diam menunggu dia tenang.
"Pak, sebenarnya saya juga bingung dengan Mixel, dia tidak sama dengan anak-anak sebayanya, umur Mixel sekarang sudah 15 tahun, untuk anak seusianya, sebenarnya dia sudah kelas 3 SMP, tapi Mixel sekarang masih kelas 1", lanjut Wati setelah dia mulai tenang.
"Pantas dia paling besar sendiri di kelas", ucapku dalam hati.
"Selama dia sekolah disini, sudah tiga kali saya datang ke sekolah, karena Mixel mengamuk", lanjutnya.
"Mungkin ada masalah dengan Mixel Bu?" Tanyaku.
"Betul Pak, Mixel tidak sama dengan anak-anak usianya, dia lambat sekali untuk belajar sesuatu, namun emosinya sulit dikendalikan Pak, karena hal-hal kecil, dia sering marah-marah", jawabnya.
"Saya sebenarnya lelah Pak, tapi tanggung jawab saya selaku orang tua, tidak bisa saya lepaskan begitu saja." Tambahnya.
"Mixel sebenarnya bukan anak nakal Pak, dia cenderung pendiam di kelas, tetapi ketika dia diganggu emosinya meledak-ledak, sebenarnya saya sudah kehabisan cara mengatur Mixel Pak", sambung Bu Santi.
"Apa penyebab Mixel seperti itu Bu?" Tanyaku pada Wati.
Diapun kembali menangis.
"Ini .... semua .... salah .... saya Pak, saya bukan ibu yang baik bagi Mixel", jawabnya terbata sambil menangis.
Diapun terdiam, matanya menerawang, seolah mengingat sesuatu.





0 komentar:

Posting Komentar